Sejarah perkembangan baja di Indonesia diawali
di tahun 1960, Presiden Soekarno mencanangkan Proyek Besi Baja Trikora untuk
meletakkan dasar industri nasional yang tangguh. Pembangunan sempat terhenti
karena pemberontakan PKI tahun 1965. Sepuluh tahun kemudian pada tanggal 31
Agustus 1971 berdirilah PT Krakatau Steel (Persero). Dengan memanfaatkan kembali
peralatan-peralatan proyek baja Trikora yaitu pabrik kawat baja, pabrik baja
tulangan dan pabrik baja profil, maka tahun 1977 Presiden Soeharto meresmikan
mulai beroperasinya pabrik produsen baja terbesar di Indonesia itu.
Pada 9 Oktober 1979, Presiden Soeharto
meresmikan Pabrik Besi Spons model Hyl S.A modul I dan II dengan kapasitas 1,5
juta ton per tahun, Pabrik Billet Baja dengan kapasitas 500.000 ton per tahun,
Pabrik Batang Kawat dengan kapasitas 220.000 ton per tahun, serta fasilitas
infrastuktur berupa Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Uap 400 MW, Pusat
Penjernihan Air dengan kapasitas 2000 liter/detik, Pelabuhan Cigading serta Sistem
Telekomunikasi. Tanggal 24 Februari 1983 diresmikan beroperasinya Pabrik Slab
Baja (EAF), Pabrik Baja Lembaran Panas dan Pabrik Besi Spons unit 2 PT. Krakatau Steel oleh Presiden Soeharto.
Pada tahun 1976, PT Ispat Indo berdiri di
Sidoarjo Surabaya oleh seorang imigran dari India Laksmi Mittal dan istrinya. Diatas tanah bekas persawahan seluas
16,5 hektar, Mittal mendirikan bangunan yang dijadikan pabrik bernama PT.
Ispat Indo. Disinilah Mittal mulai menyingsingkan lengan
sepenuhnya. Ia menanamkan modal US$ 15.000.000 (Rp. 135 Milliar) untuk
mendirikan dan memulai mengoperasikannya.
Kapasitas produksi 60.000 ton per
tahun terus meningkat menjadi 700.000 ton per tahun. Pabrik yang menitikberatkan
industrinya di bidang wire itu memproduksi paku dan besi tulangan untuk
konstruksi. Pendiri PT Ispat Indo, Laksmi Niwas Mittal, merupakan orang terkaya
nomor 4 di dunia yang memiliki pabrik baja yang tersebar di penjuru dunia,
holding baja miliknya bernama Archelor Mittal.
Konsumsi nasioanal baja kita, 30 kg per
kapita, masih jauh di bawah Malaysia yang pada tahun yang sama dengan
berdirinya pabrik baja di Indonesia masih belum punya pabrik baja yaitu 500 kg
per kapita. Revitalisasi dan pembangunan pabrik baja dengan teknologi yang
canggih dan kapasitas yang besar harus terus dilakukan guna mencukupi kebutuhan
baja nasional sehingga serbuan baja-baja dari china bisa di minimalis.
terima kasih gan infonya.....
BalasHapus